Selasa, 01 Februari 2011

Dawai Hati: BENCI CINTA

Dawai Hati: BENCI CINTA: "Ingin kuhanyutkan bayangmu di dalamnya samudera cintaku melenyapkan namamu di dasar hatiku lelah… menemuimu dalam maya mengasihimu dalam ang..."

Jumat, 14 Januari 2011

Nama - nama Presiden Republik Indonesia

1. Soekarno

a. Mulai menjabat 18 Agustus 1945 sampai 19 Desember 1948 dari PNI
Wakil Presiden Mohammad Hatta
(Menjabat pada periode 1)




1.a. Syafruddin Prawiranegara (Ketua PDRI)

Mulai menjabat 19 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949 dari nonpartisan
(Menjabat pada periose 1)
PDRI dibentuk setelah ibukota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda akibat agresi militer. Pembentukan PDRI sendiri sebenarnya memang diamanatkan dalam telegram yang dikirimkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kepada Syafruddin, walaupun telegram itu tidak pernah sampai ke tangannya.

b. Soekarno
Mulai menjabat 13 Juli 1949 sampai 27 Desember 1949 dari PNI
Wakil Presiden Mohammad Hatta
(Menjabat pada periode 1)

c. Soekarno (Presiden RIS)
Mulai menjabat 27 Desember 1949 sampai 15 Agustus 1950 dari PNI

1.c. Assaat (pemangku sementara jabatan Presiden RI)
Mulai menjabat 27 Desember 1949 sampai 15 Agustus 1950 dari non partisan

Berdasarkan hasil konferensi meja bundar, Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat(RIS) di mana Republik Indonesia merupakan salah satu negara bagiannya. Karena Soekarno dan Hatta diangkat menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka Assaat diangkat sebagai "Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia". Jabatan ini berakhir ketika RIS kembali ke bentuk negara kesatuan (Republik Indonesia).
(Menjabat pada periode 1)

d. Soekarno
Mulai menjabat 15 Agustus 1950 sampai 1 Desember 1956 dari PNI
Wakil Presiden Mohammad Hatta
(Menjabat pada periode 1)

e. Soekarno
Mulai menjabat 1 Desember 1956 sampai 22 Februari 1967
(Menjabat pada periode 1)


2. Soeharto

a. Mulai menjabat 22 Februari 1967 sampai 27 Maret 1968 (Pejabat Presiden)
Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang "Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno" dikeluarkan pada tanggal 27 Maret 1967 , tetapi berlaku surut sejak 22 Februari 1967.

b. Mulai menjabat 27 Maret 1968 sampai 24 Maret 1973
(Menjabat pada periode 2 )

c. Mulai menjabat 24 Maret 1973 sampai 23 Maret 1978
Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono IX
(Menjabat pada periode 3)

d. Mulai Menjabat 23 Maret 1978 sampai 11 Maret 1983
Wakil Presiden Adam Malik
(Menjabat pada periode 4)

e. Mulai Menjabat 11 Maret 1983 sampai 11 Maret 1988
Wakil Presiden Umar Wirahidikusumah
(Menjabat pada periode 5)

f. Mulai menjabat 11 Maret 1988 sampai 11 Maret 1993
Wakil Presiden Soedharmono
(Menjabat pada periode 6)

g. Mulai menjabat 11 Maret 1993 sampai 10 Maret 1998
Wakil Presiden Try Sutrisno
(Menjabat pada periode 7)

h. Mulai menjabat 10 Maret 1998 sampai 21 Mei 1998
Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie
(Menjabat periode 8)
Dari Partai Golkar

3. Baharuddin Jusuf Habibie

Mulai menjabat 21 Mei 1998 sampai 20 Oktober 1999 dari Golkar
Wakil Presiden kosong
(Menjabat pada periode 8)



4. Abdurrahman Wahid

Mulai menjabat 20 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001 Dari PKB
Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri
(Menjabat pada periode 9)



5. Megawati Soekarnoputri

Mulai menjabat 23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004 dari PDI Perjuangan
Wakil Presiden Hamzah Haz
(Menjabat pada periode 9)




6. Susilo Bambang Yudhoyono

a. Mulai menjabat 20 Oktober 2004 sampai 29 Oktober 2009 dari Partai Demokrat
Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla
(Menjabat pada periode 10)


b. Mulai menjabat 29 Oktober 2009 asmpai sekarang untuk masa bakti kedua sekaligus terakhir
wakil Presiden Budiono
(Menjabat pada Periode ke 11 )

Rabu, 12 Januari 2011

SEJARAH NAMA INDONESIA

Sebelum kedatangan bangsa Eropa
PADA zaman purba kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama.


Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai *Nan-hai* (Kepulauan Laut Selatan).Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini *Dwipantara* Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta *dwipa* (pulau) dan *antara* (luar, seberang).

Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke *Suwarnadwipa* (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita *Jaza’ir al-Jawi* (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah *benzoe*, berasal dari bahasa Arab *luban jawi*(kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon *Styrax sumatrana* yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra .

Sampai hari ini jemaah **** kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi , Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.


Masa kedatangan Bangsa Eropa

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia . Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab , Persia , India , dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (*Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien*) atau “Hindia Timur” *(Oost
Indie, East Indies , Indes Orientales)* . Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (*Maleische Archipel, Malay Archipelago , l’Archipel Malais*).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah *Nederlandsch- Indie* (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah *To-Indo* (Hindia Timur).

Berbagai Usulan Nama

Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde*, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin *insula* berarti pulau).


Eduard Douwes Dekker

Tetapi rupanya nama *Insulinde* ini kurang populer. Bagi orang Bandung , *Insulinde* mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “ India ”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya.

Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 Lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari *Jawadwipa*( Pulau Jawa).

Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, *”Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” *(Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis.

Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern.

Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia . Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, *Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia * (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865),menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.


James Richardson Logan


Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel *On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations*. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (*a distinctive name*), sebab nama Hindia Tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: *Indunesia*atau *Malayunesia* (*nesos* dalam bahasa Yunani berarti Pulau).

Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: *… the inhabitants of the Indian Archipelago or malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.*

Earl sendiri menyatakan memilih nama *Malayunesia* (Kepulauan Melayu) daripada *Indunesia* (Kepulauan Hindia), sebab *Malayunesia* sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan *Indunesia* bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah *Malayunesia* dan tidak memakai istilah *Indunesia*. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel *The Ethnology of the Indian Archipelago. * Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanahair kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan.

Logan memungut nama *Indunesia* yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan : *Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia , which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. * Ketika mengusulkan nama “ Indonesia ” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “ Indonesia ” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku *Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel* sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880.

Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam *Encyclopedie van Nederlandsch-Indie*tahun 1918.

Padahal Bastian mengambil istilah “ Indonesia ” itu dari tulisan-tulisan Logan. Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “ Indonesia ” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama *Indonesische Pers-bureau. *

Masa Kebangkitan Nasional
Makna politis


Pada dasawarsa 1920-an, nama “ Indonesia ” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “ Indonesia ” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa *Handels Hoogeschool* (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam , organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama *Indische Vereeniging* ) berubah nama menjadi *Indonesische Vereeniging* atau Perhimpoenan Indonesia . Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.


Bung Hatta

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (*de toekomstige vrije Indonesische staat*) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli.

Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (*een politiek doel*), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (*Indonesier*) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. “ Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan *Indonesische Studie Club*pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 *Jong Islamieten Bond* membentuk kepanduan *Nationaal Indonesische Padvinderij* (Natipij).

Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “ Indonesia ”. Akhirnya nama “ Indonesia ” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota *Volksraad* (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardji Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”.


Kongres Pemuda

Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah. Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

SEJARAH GARUDA

Pada dunia ilmiah fauna nama Burung Garuda tidaklah dikenal, namun demikian Burung Garuda yang menjadi lambang negara Republik Indonesia memiliki kemiripan dengan Burung Rajawali ataupun Elang Besar (Haliaetus leucocephalus) yang juga serupa dengan lambang negara Amerika Serikat ataupun Thailand. Burung Garuda sendiri (Garuda berasal dari bahasa sansekerta), muncul dari mitologi Hindu dan Budha, di Suku Tamil Garuda disebut sebagai Karutan dan di Jepang disebut sebagai Karura.

Di dalam mitologi Hindu, Garuda digambarkan sebagai setengah manusia dan setengah burung yang menjadi kendaraan Dewa Wisnu dan merupakan raja dari para burung. Pada kisah Baghawad Gita juga disebut nama Burung Garuda oleh Khrisna di tengah perang Barata Yudha di Kurusetra, "Of birds, I am the son of Vinata (Garuda)". Sedangkan di dalam mitologi Budha, Burung Garuda digambarkan sebagai predator yang hebat dan pintar serta memiliki kemampuan berorganisasi secara sosial.

Kemudian di masa pujangga Dharmawansa Anantawikrama nama Garuda tersebar di Jawa Timur sekitar tahun 991-1016. Meskipun tidak melihat sendiri wujud burung itu, mereka berhasil membayangkan dan mengabadikannya dalam pahatan relief Candi Kedaton dan Kidal. Kemudian, Garuda yang setengah orang setengah burung diabadikan lebih nyata sebagai arca Airlangga di Candi Belahan. Baru setelah beratus-ratus tahun kemudian Burung Garuda dijadikan lambang Negara Republik Indonesia.

Proses pemilihan Burung Garuda sebagai lambang Negara dimulai pada tanggal 13 Juli 1945, dalam rapat Panitia Perancangan Undang-undang Dasar, Parada Harahap mengusulkan tentang lambang negara. Kemudian pada tanggal 20 Desember 1949, berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) No. 2 tahun 1949, Sultan Hamid Al Kadrie II diangkat sebagai Menteri Negara RIS yang dipercaya untuk mengkoordinasi kegiatan perancangan lambang negara.

Sultan Hamid Al Kadrie II adalah Sultan yang berasal dari Kesultanan Kadriah Pontianak, Kalimantan Barat. Kesultanan ini didirikan pada tahun 1771 oleh penjelajah Arab yang dipimpin oleh Syarif Abdurahman Al Kadrie yang kemudian melakukan pernikahan politik dengan putri dari Kesultanan Banjarmasin, Ratu Syarif Abdul Rahman, putri Sultan Tamjidullah. Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian Syarif Abdurahman Al Kadrie mendirikan Istana Kadriah.

Ia merupakan salah satu dari sekian belas orang Indonesia yang mendapat pendidikan elit militer Belanda di KMA Breda dengan pangkat terakhir "Adjudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden", yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai Asisten Ratu Belanda dan orang Indonesia yang pertama kali memperoleh pangkat tersebut. Di masa RIS, Sultan Hamid II sebenarnya lebih menginginkan jabatan Menteri Pertahanan dibandingkan Menteri Negara Zonder Porto Folio, karena lebih sesuai dengan bidang keahliannya tetapi jabatan Menteri Pertahanan kemudian diberikan kepada Sultan Hamengkubuwono IX.

Tanggal 10 Januari 1950, selaku Menteri yang ditunjuk untuk proses pembuatan lambang negara, Sultan Hamid II membentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara dengan susunannya sebagai berikut : Muhammad Yamin (ketua), Ki Hadjar Dewantoro, M.A.Pellaupessy, Mohammad Natsir dan RM. Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Terdapat dua usulan lambang negara yang memasuki putaran final yaitu Burung Garuda karya Sultan Hamid dan Banteng Matahari karya Muhammad Yamin, namun yang diterima oleh Bung Karno adalah karya Sultan Hamid II. Banteng Matahari karya Muhammad Yamin ditolak karena memiliki gambar matahari yang disinyalir berbau Jepang.

Rancangan final lambang negara Burung Garuda hasil karya Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 8 Februari 1950 setelah ada berbagai masukan dan diskusi. Masyumi sendiri mengusulkan agar menghilangkan gambar tangan dan bahu manusia dari lambang negara. Sementara itu hasil diskusi intensif antara Bung Karno, Bung Hatta dan Sultan Hamid II menghasilkan pita merah putih yang bertuliskan "Bhineka Tunggal Ika".

Penggunaan resmi lambang negara Garuda Pancasila terjadi pada tanggal 11 Februari 1950 dalam sidang kabinet RIS yang dipimpin Perdana Menteri Mohammad Hatta. Empat hari berselang, tepatnya 15 Februari 1950, Presiden Soekarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara karya Sultan Hamid II kepada khalayak umum di Hotel Des Indies (sekarang Duta Merlin) Jakarta.

Di tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai denga bentuk akhir rancangan Sultan Hamid II yang dipergunakan resmi sampai saat ini.

Lambang negara ini kemuudian diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.66 tahun 1951 yang diundangkan dalam Lembaran Negara No.111 dan penjelasannya dalam tambahan Lembaran Negara No.176 tahun 1951 pada 28 November 1951. Sejak itu, secara yuridis gambar lammbang negara rancangan Sultan Hamid II secara resmi menjadi Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Karena keterlibatannya dalam APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), Sultan Hamid II kemudian dipenjara selama 16 tahun dan namanya "disamarkan" sebagai pembuat lambang Negara Burung Garuda. Adalah Turiman yang menegaskan kembali bahwa pembuat lambang negara Burung Garuda yaitu Sultan Hamid II melalui tesis Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia yang berjudul "Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Perundang-undangan)" dengan pembimbing Prof. Dimyati Hartono pada tahun 1999.

Dalam tesisnya, Turiman menyimpulkan, sesuai Pasal 3 Ayat 3 (tiga) UUD Sementara 1950 menetapkan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951 tentang Lambang Negara. Berdasarkan Pasal 23, 3, jo PP No.60/1951 ditentukan bahwa bentuk dan warna serta skala ukuran lambang negara RI adalah sebagaimana yang terlampir secara resmi dalam PP No.66 tahun 1951 juga pada Lembaran Negara No.111, dan bentuk lambang negara yang dimaksud adalah lambang negara yang dirancang oleh Sultan Hamid Al Kadrie II yaitu Burung Garuda. "Sudah jelas bahwa lambang negara Burung Garuda adalah buah karya Sultan Hamid Al Kadrie II", tegas Turiman yang juga Dosen Pasca Sarjana Universitas Tanjungpura Pontianak.

Sultan Hamid II sendiri meninggal di Jakarta pada tanggal 30 Maret 1978, meninggalkan dua orang anak dan seorang istri berkebangsaan Belanda. Sebelum meninggal dunia, Sultan Hamid II yang didampingi sekretaris pribadinya, Max Yusuf Al Kadrie menyerahkan gambar rancangan asli lambang negara, yang disetujui oleh Presiden Soekarno, kepada Haji Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu) pada tanggal 18 Juli 1974 yang bertempat di kawasan Kwitang Jakarta Pusat. Sedangkan tampuk kekuasaan Istana Kadriah sendiri saat ini dipegang oleh penerusnya, Sultan Syarif Abubakar Al Kadrie.